Senin, 29 Oktober 2012
IFRS
Standar Pelaporan Keuangan
Internasional ( International Financial
Reporting Standards IFRS) adalah Standar dasar, Pengertian dan Kerangka
Kerja yang diadaptasi oleh Badan Standar
Akuntansi Internasional International
Accounting Standards Board (IASB)).
Sejumlah standar yang dibentuk sebagai bagian dari IFRS dikenal dengan nama terdahulu Internasional Accounting Standards (IAS). IAS dikeluarkan antara tahun 1973 dan 2001 oleh Badan Komite Standar Akuntansi Internasional Internasional Accounting Standards Committee (IASC). Pada tanggal 1 April 2001, IASB baru mengambil alih tanggung jawab guna menyusun Standar Akuntansi Internasional dari IASC. Selama pertemuan pertamanya, Badan baru ini mengadaptasi IAS dan SIC yang telah ada. IASB terus mengembangkan standar dan menamai standar-standar barunya dengan nama IFRS.
IFRS dianggap sebagai kumpulan standar "dasar prinsip" yang kemudian menetapkan peraturan badan juga mendikte penerapan-penerapan tertentu.
* Peraturan-peraturan Standar Laporan Keuangan Internasional Internasional Financial Reporting Standards (IFRS)dikeluarkan setelah tahun 2001
* Peraturan-peraturan Standar Akuntansi Internasional International Accounting Standards (IAS) dikeluarkan sebelum tahun 2001
* Interpretasi yang berasal dari Komite Interpretasi Laporan Keuangan Internasional International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC)dikelularkan setelah tahun 2001
* Standing Interpretations Committee (SIC)dikeluarkan sebelum tahun 2001
* Kerangka Kerja untuk Persiapan dan Presentasi Laporan Keuangan (1989) Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements (1989)
Kerangka kerja
Kerangka kerja guna Persiapan dan Presentasi Laporan Keuangan menyampaikan prinsip-prinsip dasar IFRS.
Kerangka kerja IASB dan FASB sedang dalam proses pembaharuan dan perangkuman. Proyek Kerangka Konseptual Gabungan ( The Joint Conceptual Framework project) bertujuan untuk memperbaharui dan merapikan konsep-konsep yang telah ada guna menggambarkan perubahan di pasar, praktek bisnis dan lingkungan ekonomi yang telah timbul dalam dua dekade atau lebih sejak konsep pertama kali dibentuk.
Sejumlah standar yang dibentuk sebagai bagian dari IFRS dikenal dengan nama terdahulu Internasional Accounting Standards (IAS). IAS dikeluarkan antara tahun 1973 dan 2001 oleh Badan Komite Standar Akuntansi Internasional Internasional Accounting Standards Committee (IASC). Pada tanggal 1 April 2001, IASB baru mengambil alih tanggung jawab guna menyusun Standar Akuntansi Internasional dari IASC. Selama pertemuan pertamanya, Badan baru ini mengadaptasi IAS dan SIC yang telah ada. IASB terus mengembangkan standar dan menamai standar-standar barunya dengan nama IFRS.
Struktur IFRS
IFRS dianggap sebagai kumpulan standar "dasar prinsip" yang kemudian menetapkan peraturan badan juga mendikte penerapan-penerapan tertentu.
Standar Laporan Keuangan Internasional mencakup:
* Peraturan-peraturan Standar Laporan Keuangan Internasional Internasional Financial Reporting Standards (IFRS)dikeluarkan setelah tahun 2001
* Peraturan-peraturan Standar Akuntansi Internasional International Accounting Standards (IAS) dikeluarkan sebelum tahun 2001
* Interpretasi yang berasal dari Komite Interpretasi Laporan Keuangan Internasional International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC)dikelularkan setelah tahun 2001
* Standing Interpretations Committee (SIC)dikeluarkan sebelum tahun 2001
* Kerangka Kerja untuk Persiapan dan Presentasi Laporan Keuangan (1989) Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements (1989)
Kerangka kerja
Kerangka kerja guna Persiapan dan Presentasi Laporan Keuangan menyampaikan prinsip-prinsip dasar IFRS.
Kerangka kerja IASB dan FASB sedang dalam proses pembaharuan dan perangkuman. Proyek Kerangka Konseptual Gabungan ( The Joint Conceptual Framework project) bertujuan untuk memperbaharui dan merapikan konsep-konsep yang telah ada guna menggambarkan perubahan di pasar, praktek bisnis dan lingkungan ekonomi yang telah timbul dalam dua dekade atau lebih sejak konsep pertama kali dibentuk.
Tujuan keseluruhan adalah untuk menciptakan dasar guna standar akuntansi
di masa mendatang yang berbasis prinsip, konsisten secara internal dan diterima
secara internasional. Karena hal tersebut, dewan IASB dan FASB Amerika
Serikat melaksanakan proyek secara bersama.
*sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Pelaporan_Keuangan_Internasional
Minggu, 28 Oktober 2012
CRS
pengertian
CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen
tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial,
tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik,
melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan
dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving,
corporate philanthropy, corporate community relations, dan community
development.
Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan.
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Bias-bias CSR
Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.
Pertama, kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah umur.
Kedua, generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.
Ketiga, directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Keempat, lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service belaka.
Kelima, kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan “menanam jati”.
CSR yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.
Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004).
Namun demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006).
Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar nonmaleficience.
Contoh perusahaan yang sudah menerapkan CSR
Perusahaan di Indonesia sudah banyak yang menerapkan CSR dalam usahanya membangun kepercayaan publik, seperti PT DJARUM, PT SAMPOERNA Tbk, PT UNILEVER INDONESIA Tbk dsb. Kita ambil contoh CSR pada PT Unilever Indonesia Tbk:
PT Unilever Indonesia Tbk menekankan penerapan kualitas bahan baku pada setiap lini produksinya melalui program corporate social responsibility (CSR).
Program ini dilakukan guna menjaga kesinambungan ketersediaan bahan baku serta produksinya. ”Yang kita lakukan bertujuan agar semua yang terlibat mulai dari supplier bisa memiliki keseragaman mutu dan kualitas,” ujar General Manager Unilever Peduli Foundation PT Unilever Indonesia Tbk Sinta Kaniawati saat berkunjung ke Kantor Seputar Indonesia di Jakarta kemarin. Menurut Sinta, definisi CSR saat ini sangat beragam dan berbeda- beda bergantung tujuan perusahaan dan cost-nya tidak bisa dihitung secara parsial.
Di Unilever, CSR tidak bisa dipisahkan dari perilaku perusahaan dalam melaksanakan proses produksi. ”Misalnya saja dalam melakukan CSR terhadap supplier bahan baku kecap, kita mengambil kedelai hitam langsung dari petani, bukan dari pedagang perantara sehingga petani mendapatkan margin lebih baik dan membuat hidup petani lebih baik,”kata dia.
Dia menambahkan, program CSR Unilever telah berhasil menciptakan sejumlah usahawan baru dalam bidang suplai bahan baku yang bisa bersaing di tingkat regional. Di luar kegiatan CSR bersama stakeholder dalam bidang produksi, Unilever juga telah menggelar program lain berupa edukasi kesehatan individu masyarakat.
Dalam waktu dekat, Unilever melalui Divisi Public Health & Educational akan kembali menggelar kampanye kesehatan bertajuk ”Jakarta Stop AIDS”. Kegiatan ini lanjutan dari program serupa yang digelar Unilever di Kota Surabaya, Jawa Timur yang bertajuk ”Surabaya Stop AIDS”November tahun lalu.Acara tersebut untuk memberikan pengetahuan terhadap siswa sekolah menengah di Jakarta tentang risiko HIV/AIDS.
”Kegiatan ini untuk memberikan kesadarankepada masyarakat akan pentingnya kesehatan,” kata Head of Corporate Communication PT Unilever Indonesia Tbk Maria Dewantini Dwianto . Sementara itu, Public Health & Educational Executive dr Leo Indarwahono mengatakan, penyuluhan seperti itu dinilai efektif karena dilakukan terhadap generasi muda yang notabene paling berisiko.
reference:
http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=303
http://aids-ina.org/modules.php?name=AvantGo&file=print&sid=934
Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan.
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Bias-bias CSR
Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.
Pertama, kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah umur.
Kedua, generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.
Ketiga, directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Keempat, lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service belaka.
Kelima, kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan “menanam jati”.
CSR yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.
Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004).
Namun demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006).
Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar nonmaleficience.
Contoh perusahaan yang sudah menerapkan CSR
Perusahaan di Indonesia sudah banyak yang menerapkan CSR dalam usahanya membangun kepercayaan publik, seperti PT DJARUM, PT SAMPOERNA Tbk, PT UNILEVER INDONESIA Tbk dsb. Kita ambil contoh CSR pada PT Unilever Indonesia Tbk:
PT Unilever Indonesia Tbk menekankan penerapan kualitas bahan baku pada setiap lini produksinya melalui program corporate social responsibility (CSR).
Program ini dilakukan guna menjaga kesinambungan ketersediaan bahan baku serta produksinya. ”Yang kita lakukan bertujuan agar semua yang terlibat mulai dari supplier bisa memiliki keseragaman mutu dan kualitas,” ujar General Manager Unilever Peduli Foundation PT Unilever Indonesia Tbk Sinta Kaniawati saat berkunjung ke Kantor Seputar Indonesia di Jakarta kemarin. Menurut Sinta, definisi CSR saat ini sangat beragam dan berbeda- beda bergantung tujuan perusahaan dan cost-nya tidak bisa dihitung secara parsial.
Di Unilever, CSR tidak bisa dipisahkan dari perilaku perusahaan dalam melaksanakan proses produksi. ”Misalnya saja dalam melakukan CSR terhadap supplier bahan baku kecap, kita mengambil kedelai hitam langsung dari petani, bukan dari pedagang perantara sehingga petani mendapatkan margin lebih baik dan membuat hidup petani lebih baik,”kata dia.
Dia menambahkan, program CSR Unilever telah berhasil menciptakan sejumlah usahawan baru dalam bidang suplai bahan baku yang bisa bersaing di tingkat regional. Di luar kegiatan CSR bersama stakeholder dalam bidang produksi, Unilever juga telah menggelar program lain berupa edukasi kesehatan individu masyarakat.
Dalam waktu dekat, Unilever melalui Divisi Public Health & Educational akan kembali menggelar kampanye kesehatan bertajuk ”Jakarta Stop AIDS”. Kegiatan ini lanjutan dari program serupa yang digelar Unilever di Kota Surabaya, Jawa Timur yang bertajuk ”Surabaya Stop AIDS”November tahun lalu.Acara tersebut untuk memberikan pengetahuan terhadap siswa sekolah menengah di Jakarta tentang risiko HIV/AIDS.
”Kegiatan ini untuk memberikan kesadarankepada masyarakat akan pentingnya kesehatan,” kata Head of Corporate Communication PT Unilever Indonesia Tbk Maria Dewantini Dwianto . Sementara itu, Public Health & Educational Executive dr Leo Indarwahono mengatakan, penyuluhan seperti itu dinilai efektif karena dilakukan terhadap generasi muda yang notabene paling berisiko.
reference:
http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=303
http://aids-ina.org/modules.php?name=AvantGo&file=print&sid=934
Jumat, 26 Oktober 2012
GCG
Definisi Corporate governance (GCG) dari Cadbury
Committe of the United Kingdom ialah seperangkat peraturan yang mengatur
hubungan antara pemegang saham, pengurus pengelola perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya
yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu
sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan"
Definisi diatas menjelaskan bahwa CG adalah sistem
yang bisa digunakan untuk mengatur dan mengendalikan perusahaan. CG timbul dari
kebutuhan usaha akan tatakelola perusahaan yang baik (Good Corporate
Governance), yang menegakkan prinsip-prinsip transparan, dapat dipercaya,
bertanggung jawab dan berkeadilan
Corporate
governance
merupakan suatu konsepsi yang secara riil dijabarkan dalam bentuk
ketentuan/peraturan yang dibuat oleh lembaga otoritas, norma-norma dan etika
yang dikembangkan oleh asosiasi industri dan diadobsi oleh pelaku industri,
serta lembaga-lembaga yang terkait dengan tugas dan peran yang jelas untuk
mendorong disiplin, mengatasi dampak moral hazard, dan melaksanakan
fungsi check and balance. Sejumlah perangkat dasar yang diperlukan untuk
pembentukan GCG pada bank syariah antara lain: sistem pengendalian intern,
manajemen risiko, ketentuan yang mengarah pada peningkatan keterbukaan
informasi, sistem akuntansi, mekanisme jaminan kepatuhan syariah, dan audit
ekstern.
CG timbul dari kebutuhan usaha akan tata kelola
perusahaan yang baik (Good Corporate Governance), yang menegakkan
prinsip-prinsip transparan, dapat dipercaya, bertanggung jawab dan berkeadilan.
Di situ
disebutkan bahwa good corporate governance adalah tata kelola bank yang
menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency),
dan kewajaran (fairness).Dalam bagian penjelasan umum PBI No.
8/4/PBI/2006 dikemukakan mengenai arti dari setiap prinsip GCG tersebut, yaitu
sebagai berikut:
Pertama transparansi (transparancy) diartikan sebagai
keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Kedua,
akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan
pertanggungjawaban bank sehingga pengelolaannya berjalan efektif. Ketiga,
pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuian pengelolaan bank
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
pengelolaan bank yang sehat. Keempat, independensi (independency)
yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak
manapun. Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan
kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stake holder yang timbul berdasarkan perjanjian
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.GCG pada lembaga keuangan,
khususnya bank memiliki keunikan bila dibandingkan governance pada
lembaga keuangan non-bank. Hal ini lebih disebabkan oleh kehadiran deposan
sebagai suatu kelompok stakeholders yang kepentingannya harus diakomodir
dan dijaga. Sementara itu khusus dalam perbankan syariah dikenal adanya
prinsip-prinsip syariah yang mendukung bagi terlaksananya prinsip GCG dimaksud,
yakni keharusan bagi subjek hukum termasuk bank untuk menerapkan prinsip
kejujuran (shiddiq), edukasi kepada masyarakat (tabligh),
kepercayaan (amanah), dan pengelolaan secara profesional (fathanah).
Jumat, 05 Oktober 2012
Basel 1
Basel 1 adalah suatu
istilah yang merujuk pada serangkaian kebijakan bank sentral dari seluruh dunia
yang diterbitkan oleh komite basel pada tahun 1988 di basel.
Swiss sebagai suatu himpunan persyaratan minimum
modal untuk bank, Rekomendasi ini dikukuhkan dalam bentuk aturan oleh
negara-negara Group of Ten (G10) pada tahun 1992, Basel I secara umum
telah ditinggalkan dan digantikan oleh himpunan pedoman yang lebih
komprehensif.Basel 1 di gunakan sebagai standar modal minimum untuk sebuah bank
dengan memperhitungkan resiko pemberian kredit.
Komite ini dibentuk sebagai tanggapan
terhadap likuidasi berantakan dari Cologne berbasis bank (Herstatt Bank ) pada
tahun 1974. Pada tanggal 26 Juni 1974, sejumlah bank telah merilis Deutsche
Mark (Jerman Markus) ke Bank Herstatt dalam pertukaran untuk pembayaran
diserahkan dolar di New York . Pada rekening perbedaan zona waktu , ada lag
dalam pembayaran dolar ke counter pihak bank, dan selama kesenjangan ini, dan
sebelum pembayaran dolar bisa dilakukan di New York, Bank Herstatt dibubarkan
oleh regulator Jerman.
Insiden ini mendorong G-10 negara untuk
membentuk menjelang akhir 1974, Komite Basel pada Pengawasan Perbankan, di
bawah naungan Bank of International Settlements (BIS) yang terletak di Basel ,
Swiss .
Basel I yang di bentuk pada tahun 1988
disebut Basel Accord, dalam hal ini difokuskan pada risiko kredit . Aset bank
diklasifikasikan dan dikelompokkan dalam lima kategori menurut risiko kredit.
Langganan:
Postingan (Atom)