pengertian
CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen
tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial,
tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik,
melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan
dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving,
corporate philanthropy, corporate community relations, dan community
development.
Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa
dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving
bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan
dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community
development lebih bernuansa pemberdayaan.
Dalam konteks global,
istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer
terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom
Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington.
Mengembangkan
tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth,
environmental protection, dan social equity yang digagas the World
Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report
(1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet,
dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan
ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian
lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Bias-bias CSR
Berdasarkan
pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan
mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak
sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.
Pertama,
kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen
genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan
ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan
dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi
menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik
sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan
dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah
umur.
Kedua, generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus
karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah
dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas
melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan
sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan
menguntungkan perusahaan.
Ketiga, directive. Kebijakan dan program
CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan
kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak
partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Keempat,
lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan
perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment
dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan
tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT),
misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service
belaka.
Kelima, kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak
berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau
pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan
umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna
pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan
“menanam jati”.
CSR yang baik (good CSR) memadukan
empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency,
accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan
mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip
pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih
memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.
Sebagai contoh,
fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham
minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang
akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk
fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus
dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, prinsip responsibility lebih
mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak
yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders
perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan,
pemasok, komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah
selaku regulator. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu
menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders
perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai
tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004).
Namun demikian,
prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit.
Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good
principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle)
(Nugroho, 2006).
Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience
cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah
memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar
dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat
semakin bodoh dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan
produknya yang melanggar nonmaleficience.
Contoh perusahaan yang sudah menerapkan CSR
Perusahaan
di Indonesia sudah banyak yang menerapkan CSR dalam usahanya membangun
kepercayaan publik, seperti PT DJARUM, PT SAMPOERNA Tbk, PT UNILEVER
INDONESIA Tbk dsb. Kita ambil contoh CSR pada PT Unilever Indonesia Tbk:
PT
Unilever Indonesia Tbk menekankan penerapan kualitas bahan baku pada
setiap lini produksinya melalui program corporate social responsibility
(CSR).
Program ini dilakukan guna menjaga kesinambungan ketersediaan
bahan baku serta produksinya. ”Yang kita lakukan bertujuan agar semua
yang terlibat mulai dari supplier bisa memiliki keseragaman mutu dan
kualitas,” ujar General Manager Unilever Peduli Foundation PT Unilever
Indonesia Tbk Sinta Kaniawati saat berkunjung ke Kantor Seputar
Indonesia di Jakarta kemarin. Menurut Sinta, definisi CSR saat ini
sangat beragam dan berbeda- beda bergantung tujuan perusahaan dan
cost-nya tidak bisa dihitung secara parsial.
Di Unilever, CSR tidak
bisa dipisahkan dari perilaku perusahaan dalam melaksanakan proses
produksi. ”Misalnya saja dalam melakukan CSR terhadap supplier bahan
baku kecap, kita mengambil kedelai hitam langsung dari petani, bukan
dari pedagang perantara sehingga petani mendapatkan margin lebih baik
dan membuat hidup petani lebih baik,”kata dia.
Dia menambahkan,
program CSR Unilever telah berhasil menciptakan sejumlah usahawan baru
dalam bidang suplai bahan baku yang bisa bersaing di tingkat regional.
Di luar kegiatan CSR bersama stakeholder dalam bidang produksi, Unilever
juga telah menggelar program lain berupa edukasi kesehatan individu
masyarakat.
Dalam waktu dekat, Unilever melalui Divisi Public Health
& Educational akan kembali menggelar kampanye kesehatan bertajuk
”Jakarta Stop AIDS”. Kegiatan ini lanjutan dari program serupa yang
digelar Unilever di Kota Surabaya, Jawa Timur yang bertajuk ”Surabaya
Stop AIDS”November tahun lalu.Acara tersebut untuk memberikan
pengetahuan terhadap siswa sekolah menengah di Jakarta tentang risiko
HIV/AIDS.
”Kegiatan ini untuk memberikan kesadarankepada masyarakat
akan pentingnya kesehatan,” kata Head of Corporate Communication PT
Unilever Indonesia Tbk Maria Dewantini Dwianto . Sementara itu, Public
Health & Educational Executive dr Leo Indarwahono mengatakan,
penyuluhan seperti itu dinilai efektif karena dilakukan terhadap
generasi muda yang notabene paling berisiko.
reference:
http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=303
http://aids-ina.org/modules.php?name=AvantGo&file=print&sid=934
Tidak ada komentar:
Posting Komentar